Minggu, 19 Februari 2012

SEBUAH PENGHARGAAN DAN TERIMAKASIH



SEBUAH PENGHARGAAN DAN TERIMAKASIH
 
 
 
Pada  bagian  terakhir  cetakan  pertama  buku  ini  ada  saya sebutkan mengenai bermacam-macam bantuan yang diberikan kepada saya oleh almarhum Muhammad Tal'at Harb Pasya      ketika  itu Direktur  Bank Mesir. Besar sekali jasanya dalam membantu saya mempercepat  terbitnya  buku  ini  dan   yang   membuat   saya menyediakan  seribu  buku  dari  sepuluh ribu yang dicetak itu untuk lembaga sosial Islam. Demikian juga perlu saya  sebutkan bantuan  almarhum Mahmud Bey Khatir, Direktur Percetakan Mesir ketika itu, sehingga buku ini sampai ke tangan pembaca  dengan tipografi  dan  perwajahan  (design)  yang  cukup  indah. Juga bantuan almarhum al-Ustadh Abd'r-Rahim Mahmud,  Korektor  pada Perpustakaan  (Nasional)  Mesir yang telah mengoreksi buku ini serta mencocokkan nama-nama dan ayat-ayat Qur'an.  Selanjutnya atas   jasa  Tuan-tuan  Muhammad  Husni,  Sayyid  Ibrahim  dan almarhum Mustafa Bey Ghazlan, ahli-ahli khat (kaligrafi)  yang telah  menyusunkan  halaman-halaman  pertama  buku  ini.  Juga kepada  Tuan-tuan  Ibrahim  al-Abyari,  Abd'l-Hafid   Syalabi, Syaikh  Ahmad 'Abd'l-'Alim al-Barduni, Ali Ahmad asy-Syahdawi, para Korektor pada Perpustakaan, yang telah  berusaha  membuat beberapa  indeks dalam buku ini. Saya ingin mencatat juga nama Tuan Ali Fauda yang telah  membantu  saya  dan  membantu  Tuan Abd'r-Rahim Mahmud dalam mengadakan koreksi ini.
 
Saya  mohon  maaf  yang sebesar-besarnya kepada yang lain yang juga telah membantu saya, kalau  nama-nama  mereka  itu  tidak sampai saya sebutkan, karena saya pun kuatir akan terbawa oleh sifat pelupa. Saya  ingin  mengulangi  rasa  terimakasih  saya kepada mereka semua ketika cetakan kedua buku ini terbit.
 
Bantuan demikian itu tiada sudahnya saya terima.
 
Banyak  juga orang yang secara berturut-turut telah memberikan bantuan sejak cetakan pertama buku ini terbit hingga  mencapai cetakan  kedua. Jasa mereka itu pun tidak saya lupakan. Syaikh Ahmad Mustafa al-Maraghi yang ketika itu menjadi lektor bahasa pada fakultas Bahasa Arab Universitas Al-Azhar, telah berkenan pula mengoreksi naskah buku ini dan mengirimkan kembali kepada saya dengan beberapa catatan mengenai seluk-beluk bahasa, yang besar sekali artinya untuk saya pergunakan dalam cetakan kedua ini.
 
Disamping  itu tidak sedikit pula orang yang telah mengirimkan catatan semacam itu kepada saya, yang juga  tidak  lepas  dari perhatian  saya tentunya. Beberapa orang sahabat saya ada juga yang mengirimkan buku-buku karangan  mereka  yang  perlu  saya baca  dan  saya  pergunakan,  diantaranya  buku  sahabat saya, pengarang    Palestina    Muhammad     Is'af     an-Nasyasyibi Al-Islam'sh-Shahih,   dua   buku   lagi   oleh  Muhammad  Fuad Abd'l-Baqi, yakni Miftah Kunuz's Sunna yang diterjemahkan dari Wensinck    dengan    lebih    disempurnakan    dan    Tafshil Ayat'l-Quran'l-Hakim yang disadur berdasarkan  susunan  J.  La Baume.  Buku  yang  belakangan  ini sangat berguna sekali buat orang yang ingin  memakai  Qur'an  sebagai  referensi.  Dengan susunan  yang  sistematis,  yang  cukup  teliti, semua masalah dalam buku itu dikumpulkan. Disamping itu  ada  beberapa  buku lain yang sudah saya sebutkan dalam bibliografi.
 
Ketika  cetakan  kedua  buku  ini  mulai dicetak di percetakan Perpustakaan (Nasional) Mesir - Dar'l-Kutub'l-Mishria  - saya melihat  orang-orang  yang  berwenang  dalam  perpustakaan itu sangat besar memberikan perhatian pada buku ini, yang  rasanya tidak  akan  demikian sekiranya ini bukunya sendiri sekalipun. Yang demikianl ini sudah menjadi kebiasaan Tuan  Muhammad  Bey As'ad Barradah, Direktur lembaga tersebut ketika itu, demikian juga  Tuan  Muhammad  Nadim,  Direktur  percetakan  dan  semua bahagian  Lektur badan tersebut dibawah pimpinan almarhum Tuan Ahmad Zaki  al-'Adawi.  Tidak  jarang  pula  tokoh-tokoh  pada bagian  lektur  itu  yang  telah  turut  membantu  saya  dalam mencocokkan beberapa  masalah  yang-ternyata  dalam  buku-buku hadis  dan  beberapa  buku  sejarah Nabi masih terdapat adanya beberapa perbedaan, dengan tujuan lebih cermat dan tepat. Juga sering  sekali  kami  bekerja  sama  dalam  meneliti  beberapa istilah atau susunan kata dan segi ilmu bahasa  untuk  sedapat mungkin  menghindarkan adanya pengaruh bahasa asing dalam buku ini. Bagian Lektur ini  pulalah  yang  telah  membuat  catatan bawah  mengenai  ayat-ayat  Qur'an dan memberikan anotasi dari segi semantik mengenai kata-kata yang dianggap perlu.
 
Almarhum Rektor Magnificus Syaikh Muhammad Mustafa  al-Maraghi telah  juga  berkenan  sekali lagi membaca beberapa pasal yang telah dibaharui dalam cetakan kedua ini.
 
Mengenai penyelenggaraan pencetakan hingga  sampai  ke  tangan pembaca  dalam  bentuk  yang  begitu  indah dan teliti (pada cetakan kedua) adalah atas jasa Tuan Muhammad Nadim,  Direktur percetakan serta pembantu-pembantunya dari kalangan ahli dalam percetakan itu. Mereka itu semua bekerja sesuai sekali  dengan ucapan Nabi 'alaihissalam: "Apabila orang mengerjakan sesuatu, Tuhan lebih suka bila dikerjakan secara lebih sempurna."
 
Dan memang sudah sepantasnya pula - pada cetakan ketiga ini  - bila  saya  mengulangi  rasa  terimakasih  saya  kepada  pihak perpustakaan  serta  kepada   mereka   yang   bertugas   dalam percetakan.  Karena  kesibukan  yang saya hadapi, saya sendiri tidak  banyak  mencampuri  cetakan  ini  selain  pada  cetakan percobaan  yang  terakhir serta ijin fiat dicetak. Selain itu, mengenai  judul-judul  tambahan  pada   tiap   halaman   serta koreksinya  yang  lebih  teliti, semua itu karena jasa mereka; mengingat  pula  adanya  hubungan  baik  saya   dengan   pihak perpustakaan  itu  semua,  terutama  sekali dengan Direkturnya waktu itu, sahabat karib saya Dr. Mansur Fahmi Pasya
 
Oleh karena itu saya  ingin  menyampaikan  rasa  terima  kasih serta  penghargaan  saya yang setinggi-tingginya kepada mereka itu semua yang telah berusaha sedemikian  rupa.  Semoga  Tuhan juga  yang akan memberikan balasan sesuai dengan amal kebaikan yang telah mereka curahkan. Segala  balasan  yang  baik  hanya pada Tuhan juga adanya.
 
Dan  sekarang,  sehubungan dengan cetakan keempat yang dicetak pada  Percetakan  Mesir,  rasanya  patut  sekali   bila   saya menyampaikan ucapan terimakasih saya kepada Tuan Yusuf Bahjat, Direktur percetakan  tersebut  dan  kepada  pimpinannya,  Tuan Muhammad  Ibrahim  Usman  dan  semua petugas Percetakan Mesir, atas segala perhatian yang telah diberikan,  sampai  terbitnya buku   ini   dengan   perwajahan  dan  tipografi  yang  indah.Terimakasih yang sama saya sampaikan juga kepada  Tuan  Syaikh
Ahmad  'Abd'l-'Alim  al-Barduni  yang telah membantunya dengan sungguh-sungguh dalam menyusunkan  indeks  pada  cetakan  ini.
Dalam  cetakan  kelima ini tentu dengan senang hati saya ingin juga menyatakan terimakasih kepada Dr.  Sayyid  Naufal,  Ketua Dewan  Legislatif pada Majelis Senat, yang telah dengan teliti membantu memeriksa  cetakan-cetakan  percobaan  ini  dan  juga untuk cetakan yang keempat. 
 
Saya  bersyukur  kepada  Tuhan  disertai harapan semoga dengan pertolongan-Nya akan berhasil juga kita melaksanakan kewajiban kita dalam hidup ini - dengan sebaik-baiknya.
 

MUHAMMAD HUSAIN HAEKAL


ARAB PRA ISLAM




I.    ARAB PRA ISLAM


BAGIAN PERTAMA                           
 
   
v  Sumber peradaban pertama
v  Agama Yahudi dan Kristen
v  Sekta-sekta Kristen dan Pertentangannya
v  Majusi  Persia di jazirah Arab
v   Jalan-jalan kafilah 
v  Yaman   dan peradabannya 
v  Sebabnya Jazirah bertahan pada   paganisma.
 
PENYELIDIKAN mengenai sejarah peradaban manusia dan dari  mana pula  asal-usulnya,  sebenarnya  masih  ada hubungannya dengan zaman kita sekarang  ini.  Penyelidikan  demikian  sudah  lama menetapkan,  bahwa  sumber peradaban itu sejak lebih dari enam ribu  tahun  yang  lalu  adalah  Mesir.  Zaman   sebelum   itu dimasukkan orang kedalam kategori pra-sejarah. Oleh karena itu sukar sekali akan sampai kepada suatu  penemuan  yang  ilmiah. Sarjana-sarjana   ahli   purbakala   (arkelogi)  kini  kembali mengadakan penggalian-penggalian  di  Irak  dan  Suria  dengan maksud  mempelajari  soal-soal  peradaban  Asiria  dan Funisia serta  menentukan  zaman  permulaan   daripada   kedua   macam peradaban  itu:  adakah  ia  mendahului  peradaban  Mesir masa Firaun dan sekaligus mempengaruhinya, ataukah ia menyusul masa itu dan terpengaruh karenanya?
 
Apapun  juga  yang  telah  diperoleh  sarjana-sarjana arkelogi dalam bidang  sejarah  itu,  samasekali  tidak  akan  mengubah sesuatu  dari kenyataan yang sebenarnya, yang dalam penggalian benda-benda kuno Tiongkok dan Timur Jauh belum  memperlihatkan hasil  yang  berlawanan.  Kenyataan  ini  ialah  bahwa  sumber peradaban pertama - baik di Mesir, Funisia atau Asiria  -  ada hubungannya  dengan  Laut Tengah; dan bahwa Mesir adalah pusat yang paling menonjol membawa peradaban pertama itu  ke  Yunani atau  Rumawi,  dan  bahwa peradaban dunia sekarang, masa hidup kita  sekarang  ini,  masih  erat  sekali  hubungannya  dengan peradaban pertama itu.
 
Apa   yang   pernah   diperlihatkan  oleh Timur  Jauh  dalam penyelidikam tentang sejarah peradaban, tidak  pernah memberi pengaruh yang jelas terhadap pengembangan peradaban-peradaban Fira'un, Asiria atau Yunani, juga tidak pernah mengubah tujuan dan  perkembangan  peradaban-peradaban  tersebut. Hal ini baru terjadi sesudah  ada  akulturasi  dan  saling-hubungan  dengan peradaban  Islam. Di  sinilah  proses   saling pengaruh-mempengaruhi itu terjadi, proses asimilasi yang sudah sedemikian  rupa, sehingga pengaruhnya terdapat pada peradaban dunia yang menjadi pegangan umat manusia dewasa ini.
 
Peradaban-peradaban itu sudah begitu berkembang  dan  tersebar ke  pantai-pantai Laut Tengah atau di sekitarnya, di Mesir, di Asiria dan Yunani sejak ribuan tahun yang  lalu,  yang  sampai saat  ini  perkembangannya  tetap dikagumi dunia: perkembangan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam bidang  pertanian, perdagangan,  peperangan  dan  dalam  segala  bidang  kegiatan manusia.   Tetapi,   semua   peradaban   itu,    sumber    dan pertumbuhannya,  selalu berasal dari agama. Memang benar bahwa sumber itu  berbeda-beda  antara  kepercayaan  trinitas  Mesir Purba  yang  tergambar  dalam  Osiris,  Isis  dan  Horus, yang memperlihatkan  kesatuan  dan  penjelmaan  hidup  kembali   di negerinya serta hubungan kekalnya hidup dari bapa kepada anak, dan  antara  paganisma  Yunani  dalam  melukiskan   kebenaran, kebaikan   dan   keindahan  yang  bersumber  dan  tumbuh  dari gejala-gejala alam berdasarkan pancaindera;  demikian  sesudah itu   timbul   perbedaan-perbedaan  yang  dengan  penggambaran semacam  itu  dalam  pelbagai  zaman  kemunduran   itu   telah mengantarkannya ke dalam kehidupan duniawi. Akan tetapi sumber semua peradaban itu tetap membentuk perjalanan sejarah  dunia, yang  begitu  kuat pengaruhnya sampai saat kita sekarang ini, sekalipun peradaban demikian hendak  mencoba  melepaskan  diri dan  melawan  sumbernya sendiri itu dari zaman ke zaman. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup kembali.
 
Dalam   lingkungan   masyarakat   ini,    yang    menyandarkan peradabannya  sejak  ribuan  tahun  kepada sumber agama, dalam lingkungan  itulah  dilahirkan   para   rasul   yang   membawa agama-agama   yang  kita  kenal  sampai  saat  ini.  Di  Mesir dilahirkan Musa, dan dalam pangkuan Firaun ia  dibesarkan  dan diasuh,  dan  di  tangan  para pendeta dan pemuka-pemuka agama kerajaan itu ia mengetahui keesaan Tuhan  dan  rahasia-rahasia alam.
 
Setelah  datang ijin Tuhan kepadanya supaya ia membimbing umat di tengah-tengah Firaun yang berkata kepada rakyatnya: "Akulah tuhanmu yang tertinggi" iapun berhadapan dengan Firaun sendiri dan tukang-tukang  sihirnya,  sehingga  akhirnya  terpaksa  ia bersama-sama orang-orang Israil yang lain pindah ke Palestina. Dan di Palestina ini pula dilahirkan Isa, Ruh dan Firman Allah yang  ditiupkan  ke  dalam  diri Mariam. Setelah Tuhan menarik kembali Isa putera Mariam, murid-muridnya kemudian menyebarkan agama Nasrani yang dianjurkan   Isa   itu.   Mereka  dan pengikut-pengikut mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan. Kemudian setelah dengan kehendak Tuhan agama ini tersebar,  datanglah  Maharaja  Rumawi  yang  menguasai  dunia ketika  itu,  membawa  panji  agama  Nasrani. Seluruh Kerajaan Rumawi kini telah menganut agama Isa. Tersebarlah agama ini di Mesir,  di  Syam (Suria-Libanon dan Palestina) dan Yunani, dan dari Mesir menyebar  pula  ke  Ethiopia.  Sesudah  itu  selama beberapa  abad  kekuasaan  agama  ini semakin kuat juga. Semua yang berada di bawah panji  Kerajaan  Rumawi  dan  yang  ingin mengadakan persahabatan dan hubungan baik dengan Kerajaan ini, berada di bawah panji agama Masehi itu.
 
Berhadapan dengan agama Masehi yang tersebar  di  bawah  panji dan pengaruh Rumawi itu berdiri pula kekuasaan agama Majusi di Persia yang mendapat dukungan  moril  di  Timur  Jauh  dan  di India.   Selama  beberapa  abad  itu  Asiria  dan  Mesir  yang membentang  sepanjang  Funisia,  telah  merintangi  terjadinya suatu  pertarungan  langsung  antara kepercayaan dan peradaban Barat dengan Timur. Tetapi dengan masuknya Mesir  dan  Funisia ke  dalam lingkungan Masehi telah pula menghilangkan rintangan itu. Paham Masehi di Barat dan Majusi di Timur sekarang  sudah berhadap-hadapan  muka.  Selama  beberapa abad berturut-turut, baik Barat maupun Timur, dengan  hendak  menghormati  agamanya masing-masing, yang sedianya berhadapan dengan rintangan alam, kini telah berhadapan dengan  rintangan  moril,  masing-masing merasa  perlu  dengan  sekuat  tenaga  berusaha mempertahankan kepercayaannya, dan satu sama lain tidak  saling  mempengaruhi kepercayaan  atau  peradabannya,  sekalipun  peperangan antara mereka itu berlangsung terus-menerus sampai sekian lama.
 
Akan tetapi, sekalipun Persia telah dapat  mengalahkan  Rumawi dan  dapat  menguasai  Syam dan Mesir dan sudah sampai pula di ambang pintu Bizantium,  namun  tak  terpikir  oleh  raja-raja Persia  akan menyebarkan agama Majusi atau menggantikan tempat agama Nasrani. Bahkan pihak yang  kini  berkuasa  itu  malahan menghormati  kepercayaan  orang  yang dikuasainya. Rumah-rumah ibadat mereka yang sudah hancur  akibat  perang  dibantu  pula membangun  kembali  dan  dibiarkan  mereka  bebas  menjalankan upacara-upacara  keagamaannya.  Satu-satunya  yang   diperbuat pihak  Persia dalam hal ini hanyalah mengambil Salib Besar dan dibawanya ke negerinya. Bilamana kelak kemenangan itu berganti berada  di  pihak  Rumawi Salib itupun diambilnya kembali dari tangan Persia. Dengan demikian peperangan rohani di Barat  itu tetap  di  Barat  dan di Timur tetap di Timur. Dengan demikian rintangan moril tadi sama pula dengan rintangan alam dan kedua kekuatan itu dari segi rohani tidak saling berbenturan.
 
Keadaan serupa itu berlangsung terus sampai abad keenam. Dalam pada itu pertentangan antara  Rumawi  dengan  Bizantium  makin meruncing.  Pihak  Rumawi,  yang  benderanya berkibar di benua Eropa sampai ke Gaul  dan  Kelt  di  Inggris  selama  beberapa generasi dan selama zaman Julius Caesar yang dibanggakan dunia dan tetap dibanggakan, kemegahannya itu berangsur-angsur telah mulai  surut, sampai akhirnya Bizantium memisahkan diri dengan kekuasaan sendiri pula, sebagai ahliwaris Kerajaan Rumawi yang menguasai  dunia  itu. Puncak keruntuhan Kerajaan Rumawi ialah tatkala pasukan Vandal yang buas itu  datang  menyerbunya  dan mengambil  kekuasaan  pemerintahan di tangannya. Peristiwa ini telah menimbulkan bekas yang  dalam  pada  agama  Masehi  yang tumbuh  dalam  pangkuan  Kerajaan  Rumawi.  Mereka  yang sudah beriman kepada Isa itu telah mengalami pengorbanan-pengorbanan besar, berada dalam ketakutan di bawah kekuasaan Vandal itu.
 
Mazhab-mazhab agama Masehi ini mulai pecah-belah.Dari zaman ke zaman  mazhab-mazhab   itu   telah   terbagi-bagi   ke   dalam sekta-sekta  dan  golongan-golongan. Setiap golongan mempunyai pandangan dan  dasar-dasar  agama  sendiri  yang  bertentangan dengan   golongan  lainnya.  Pertentangan-pertentangan  antara golongan-golongan satu sama lain  karena  perbedaan  pandangan itu telah mengakibatkan adanya permusuhan pribadi yang terbawa oleh karena moral dan jiwa yang sudah  lemah,  sehingga  cepat sekali   ia  berada  dalam  ketakutan,  mudah  terlibat  dalam fanatisma yang buta dan dalam kebekuan. Pada masa-masa itu, di antara golongan-golongan Masehi itu ada yang mengingkari bahwa Isa  mempunyai  jasad  disamping  bayangan  yang  tampak  pada manusia;  ada  pula  yang mempertautkan secara rohaniah antara jasad dan ruhnya sedemikian rupa  sehingga  memerlukan  khayal dan  pikiran  yang  begitu rumit untuk dapat menggambarkannya; dan  disamping  itu  ada  pula  yang  mau  menyembah   Mariam, sementara  yang  lain  menolak pendapat bahwa ia tetap perawan sesudah melahirkan Almasih.
 
Terjadinya pertentangan antara  sesama  pengikut-pengikut  Isa itu  adalah  peristiwa yang biasa terjadi pada setiap umat dan zaman, apabila ia sedang mengalami kemunduran:  soalnya  hanya terbatas pada teori kata-kata dan bilangan saja, dan pada tiap kata  dan  tiap   bilangan   itu   ditafsirkan   pula   dengan bermacam-macam arti, ditambah dengan rahasia-rahasia, ditambah dengan warna-warni khayal yang sukar diterima akal  dan  hanya dapat  dikunyah  oleh perdebatan-perdebatan sophisma yang kaku saja.
 
Salah seorang pendeta gereja berkata:  "Seluruh  penjuru  kota itu  diliputi  oleh  perdebatan.  Orang dapat melihatnya dalam pasar-pasar, di tempat-tempat penjual pakaian, penukaran uang, pedagang  makanan.  Jika  ada  orang  bermaksud hendak menukar sekeping emas, ia akan  terlibat  ke  dalam  suatu  perdebatan tentang  apa  yang  diciptakan  dan apa yang bukan diciptakan. Kalau  ada  orang  hendak  menawar  harga   roti   maka   akan dijawabnya:  Bapa  lebih  besar  dari putera dan putera tunduk kepada Bapa. Bila ada orang yang bertanya tentang kolam  mandi adakah  airnya  hangat,  maka pelayannya akan segera menjawab:"Putera telah diciptakan dari yang tak ada."
 
Tetapi kemunduran yang telah menimpa agama Masehi sehingga  ia terpecah-belah  kedalam  golongan-golongan dan sekta-sekta itu dari segi politik  tidak  begitu  besar  pengaruhnya  terhadap Kerajaan   Rumawi.   Kerajaan   itu   tetap  kuat  dan  kukuh. Golongan-golongan itupun tetap hidup dibawah naungannya dengan tetap  adanya  semacam  pertentangan  tapi  tidak sampai orang melibatkan diri kedalam polemik teologi atau  sampai  memasuki pertemuan-pertemuan  semacam  itu  yang  pernah  diadakan guna memecahkan  sesuatu  masalah.  Suatu  keputusan  yang   pernah diambil  oleh  suatu  golongan  tidak sampai mengikat golongan yang  lain.  Dan  Kerajaanpun  telah  pula  melindungi   semua golongan  itu  dan  memberi kebebasan kepada mereka mengadakan polemik, yang  sebenarnya  telah  menambah  kuatnya  kekuasaan Kerajaan    dalam   bidang   administrasi   tanpa   mengurangi penghormatannya  kepada   agama.   Setiap   golongan   jadinya bergantung  kepada  belas  kasihan penguasa, bahkan ada dugaan bahwa golongan itu menggantungkan diri kepada adanya pengakuan pihak yang berkuasa itu.
 
Sikap  saling  menyesuaikan diri di bawah naungan Imperium itu itulah pula yang menyebabkan  penyebaran  agama  Masehi  tetap berjalan dan dapat diteruskan dari Mesir dibawah Rumawi sampai ke Ethiopia  yang  merdeka  tapi masih dalam   lingkungan persahabatan dengan Rumawi.  Dengan  demikian  ia  mempunyai kedudukan yang sama kuat di sepanjang Laut  Merah  seperti  di sekitar  Laut  Tengah itu. Dari wilayah Syam ia menyeberang ke Palestina. Penduduk Palestina dan penduduk Arab  Ghassan  yang pindah ke sana telah pula menganut agama itu, sampai ke pantai Furat, penduduk Hira, Lakhmid dan Mundhir yang berpindah  dari pedalaman  sahara  yang  tandus  ke  daerah-daerah  subur juga demikian,  yang  selanjutnya  mereka  tinggal  di  daerah  itu beberapa  lama  untuk kemudian hidup di bawah kekuasaan Persia Majusi.
 
Dalam pada itu kehidupan Majusi di Persia telah pula mengalami kemunduran  seperti  agama Masehi dalam Imperium Rumawi. Kalau dalam agama Majusi menyembah api  itu  merupakan  gejala  yang paling  menonjol, maka yang berkenaan dengan dewa kebaikan dan kejahatan  pengikut-pengikutnya  telah   berpecah-belah   juga menjadi  golongan-golongan  dan  sekta-sekta pula. Tapi disini bukan  tempatnya  menguraikan  semua  itu.  Sungguhpun  begitu kekuasaan  politik  Persia  tetap kuat juga. Polemik keagamaan tentang  lukisan  dewa  serta  adanya  pemikiran  bebas   yang tergambar   dibalik  lukisan  itu,  tidaklah  mempengaruhinya. Golongan-golongan agama yang berbeda-beda itu semua berlindung di  bawah  raja Persia. Dan yang lebih memperkuat pertentangan itu ialah karena memang sengaja digunakan sebagai  suatu  cara supaya  satu  dengan  yang  lain saling berpukulan, atas dasar kekuatiran, bila salah satunya menjadi kuat,  maka  Raja  atau salah satu golongan itu akan memikul akibatnya.

Kedua  kekuatan  yang  sekarang  sedang  berhadap-hadapan  itu ialah: kekuatan Kristen dan kekuatan  Majusi,  kekuatan  Barat berhadapan   dengan   kekuatan  Timur.  Bersamaan  dengan  itu kekuasaan-kekuasaan kecil yang berada dibawah  pengaruh  kedua kekuatan  itu, pada awal abad keenam berada di sekitar jazirah Arab.  Kedua  kekuatan  itu  masing-masing  mempunyai   hasrat ekspansi   dan   penjajahan.  Pemuka-pemuka  kedua  agama  itu masing-masing berusaha sekuat tenaga akan menyebarkan agamanya ke   atas   kepercayaan   agama  lain  yang  sudah  dianutnya. Sungguhpun demikian jazirah itu  tetap  seperti  sebuah  oasis yang  kekar  tak sampai terjamah oleh peperangan, kecuali pada beberapa tempat  di  bagian  pinggir  saja,  juga  tak  sampai terjamah  oleh  penyebaran  agama-agama  Masehi  atau  Majusi, kecuali sebagian kecil  saja  pada  beberapa  kabilah.  Gejala demikian ini dalam sejarah kadang tampak aneh kalau tidak kita lihat letak dan iklim  jazirah  itu  serta  pengaruh  keduanya terhadap  kehidupan  penduduknya,  dalam aneka macam perbedaan dan persamaan serta kecenderungan hidup mereka masing-masing.
 
Jazirah Arab bentuknya memanjang dan tidak  parallelogram.  Ke sebelah  utara  Palestina  dan  padang  Syam, ke sebelah timur Hira, Dijla (Tigris), Furat (Euphrates) dan Teluk  Persia,  ke sebelah  selatan  Samudera Indonesia dan Teluk Aden, sedang ke sebelah barat Laut Merah. Jadi, dari sebelah barat dan selatan daerah  ini  dilingkungi  lautan, dari utara padang sahara dan dari timur padang sahara dan Teluk Persia. Akan  tetapi  bukan rintangan  itu saja yang telah melindunginya dari serangan dan penyerbuan penjajahan dan  penyebaran  agama,  melainkan  juga karena  jaraknya  yang berjauh-jauhan. Panjang semenanjung itu melebihi seribu kilometer, demikian juga luasnya sampai seribu kilometer  pula. Dan yang lebih-lebih lagi melindunginya ialah tandusnya daerah ini yang luar  biasa  hingga  semua  penjajah merasa  enggan melihatnya. Dalam daerah yang seluas itu sebuah sungaipun tak ada.  Musim  hujan  yang  akan  dapat  dijadikan pegangan  dalam  mengatur  sesuatu  usaha  juga tidak menentu. Kecuali daerah Yaman yang terletak  di  sebelah  selatan  yang sangat  subur  tanahnya  dan cukup banyak hujan turun, wilayah Arab  lainnya  terdiri  dari  gunung-gunung,  dataran  tinggi, lembah-lembah  tandus serta alam yang gersang. Tak mudah orang akan dapat tinggal  menetap  atau  akan  memperoleh  kemajuan. Samasekali  hidup  di  daerah  itu  tidak menarik selain hidup mengembara terus-menerus  dengan  mempergunakan  unta  sebagai kapalnya  di  tengah-tengah  lautan  padang  pasir itu, sambil mencari padang hijau  untuk  makanan  ternaknya,  beristirahat sebentar  sambil  menunggu ternak itu menghabiskan makanannya, sesudah itu berangkat lagi mencari padang hijau baru di tempat lain.  Tempat-tempat  beternak  yang  dicari  oleh orang-orang badwi jazirah biasanya di sekitar mata air yang menyumber dari bekas air hujan, air hujan yang turun dari celah-celah batu di daerah itu. Dari situlah tumbuhnya padang hijau yang  terserak di  sana-sini  dalam  wahah-wahah  yang berada di sekitar mata air.
 
Sudah wajar sekali dalam wilayah demikian  itu,  yang  seperti Sahara  Afrika  Raya yang luas, tak ada orang yang dapat hidup menetap, dan cara  hidup  manusia  yang  biasapun  tidak  pula dikenal.  Juga  sudah  biasa bila orang yang tinggal di daerah itu tidak lebih maksudnya  hanya  sekadar  menjelajahinya  dan menyelamatkan  diri  saja,  kecuali  di tempat-tempat yang tak seberapa, yang masih ditumbuhi  rumput  dan  tempat  beternak. Juga sudah sewajarnya pula tempat-tempat itu tetap tak dikenal karena  sedikitnya  orang  yang   mau   mengembara   dan   mau menjelajahi  daerah  itu.  Praktis  orang  zaman  dahulu tidak mengenal jazirah Arab, selain Yaman. Hanya saja  letaknya  itu telah  dapat menyelamatkan dari pengasingan dan penghuninyapun dapat bertahan diri.
 
Pada masa itu orang belum merasa begitu aman mengarungi lautan guna  mengangkut  barang  dagangan  atau mengadakan pelayaran. Dari  peribahasa  Arab  yang   dapat   kita   lihat   sekarang menunjukkan,   bahwa  ketakutan  orang  menghadapi  laut  sama seperti dalam menghadapi maut. Tetapi, bagaimanapun juga untuk mengangkut  barang  dagangan  itu  harus ada jalan lain selain mengarungi bahaya  maut  itu.  Yang  paling  penting  transpor perdagangan  masa  itu  ialah  antara  Timur dan Barat: antara Rumawi dan sekitarnya, serta  India  dan  sekitarnya.  Jazirah Arab  masa  itu  merupakan daerah lalu-lintas perdagangan yang diseberanginya melalui Mesir atau melalui Teluk Persia,  lewat terusan  yang  terletak di mulut Teluk Persia itu. Sudah tentu wajar sekali bilamana  penduduk  pedalaman  jazirah  Arab  itu menjadi  raja  sahara,  sama halnya seperti pelaut-pelaut pada masa-masa berikutnya yang daerahnya lebih banyak dikuasai  air daripada  daratan,  menjadi  raja  laut.  Dan sudah wajar pula bilamana raja-raja padang pasir itu mengenal seluk-beluk jalan para  kafilah  sampai  ke  tempat-tempat  yang berbahaya, sama halnya seperti para pelaut, mereka sudah mengenal  garis-garis perjalanan  kapal  sampai  sejauh-jauhnya.  "Jalan kafilah itu bukan  dibiarkan  begitu  saja,"  kataHeeren,  "tetapi   sudah menjadi tempat yang tetap mereka lalui. Di daerah padang pasir yang luas itu, yang biasa  dilalui  oleh  para  kafilah,  alam telah   memberikan   tempat-tempat   tertentu  kepada  mereka, terpencar-pencar di daerah tandus, yang kelak  menjadi  tempat mereka   beristirahat.   Di   tempat  itu,  di  bawah  naungan pohon-pohon kurma dan di  tepi  air  tawar  yang  mengalir  di sekitarnya,  seorang  pedagang  dengan binatang bebannya dapat menghilangkan haus dahaga sesudah perjalanan  yang  melelahkan itu.  Tempat-tempat  peristirahatan  itu  juga  telah  menjadi gudang perdagangan mereka,  dan  yang  sebagian  lagi  dipakai sebagai  tempat  penyembahan,  tempat  ia meminta perlindungan atas barang dagangannya atau meminta pertolongan  dari  tempat itu."1
 
Lingkungan  jazirah  itu  penuh  dengan  jalan  kafilah.  Yang penting di antaranya ada dua. Yang  sebuah  berbatasan  dengan Teluk  Persia,  Sungai  Dijla,  bertemu dengan padang Syam dan Palestina. Pantas jugalah kalau  batas  daerah-daerah  sebelah timur yang berdekatan itu diberi nama Jalan Timur. Sedang yang sebuah lagi berbatasan  dengan  Laut  Merah;  dan  karena  itu diberi  nama  Jalan  Barat.  Melalui dua jalan inilah produksi barang-barang di Barat diangkut ke Timur dan barang-barang  di Timur  diangkut ke Barat. Dengan demikian daerah pedalaman itu mendapatkan kemakmurannya.
 
Akan tetapi itu tidak menambah pengetahuan pihak Barat tentang negeri-negeri  yang  telah  dilalui  perdagangan  mereka  itu. Karena sukarnya menempuh daerah-daerah itu, baik  pihak  Barat maupun  pihak  Timur  sedikit  sekali yang mau mengarunginya - kecuali bagi mereka  yang  sudah  biasa  sejak  masa  mudanya. Sedang    mereka    yang    berani    secara   untung-untungan mempertaruhkan nyawa banyak  yang  hilang  secara  sia-sia  di tengah-tengah  padang  tandus itu. Bagi orang yang sudah biasa hidup mewah di kota, tidak akan tahan  menempuh  gunung-gunung tandus  yang  memisahkan  Tihama dari pantai Laut Merah dengan suatu daerah yang sempit itu. Kalaupun pada waktu itu ada juga orang  yang  sampai  ke  tempat tersebut - yang hanya mengenal unta  sebagai  kendaraan  -  ia   akan   mendaki   celah-celah pegunungan  yang  akhirnya  akan menyeberang sampai ke dataran tinggi Najd yang penuh dengan padang pasir. Orang  yang  sudah biasa  hidup  dalam  sistem  politik  yang  teratur  dan dapat menjamin segala kepuasannya akan  terasa  berat  sekali  hidup dalam   suasana  pedalaman  yang  tidak  mengenal  tata-tertib kenegaraan.  Setiap  kabilah,  atau  setiap  keluarga,  bahkan setiap  pribadipun  tidak  mempunyai  suatu  sistiem  hubungan dengan pihak lain selain ikatan  keluarga  atau  kabilah  atau ikatan  sumpah  setia  kawan  atau  sistem jiwar (perlindungan bertetangga) yang biasa diminta oleh pihak yang  lemah  kepada yang lebih kuat.
 
Pada  setiap  zaman  tata-hidup  bangsa-bangsa  pedalaman  itu memang berbeda dengan kehidupan di kota-kota.  Ia  sudah  puas dengan   cara  hidup  saling  mengadakan  pembalasan,  melawan permusuhan dengan permusuhan, menindas yang lemah  yang  tidak mempunyai   pelindung.   Keadaan  semacam  ini  tidak  menarik perhatian orang untuk membuat penyelidikan yang lebih dalam.
 
Oleh karena itu daerah Semenanjung  ini  tetap  tidak  dikenal dunia  pada waktu itu. Dan barulah kemudian - sesudah Muhammad s.a.w.  lahir  di  tempat  tersebut  -  orang  mulai  mengenal sejarahnya  dari  berita-berita  yang dibawa orang dari tempat itu, dan daerah yang tadinya samasekali tertutup itu  sekarang sudah mulai dikenal dunia.
 
Tak  ada  yang  dikenal  dunia  tentang negeri-negeri Arab itu selain Yaman dan tetangga-tetangganya yang  berbatasan  dengan Teluk  Persia.  Hal  ini  bukan  karena  hanya disebabkan oleh adanya perbatasan Teluk Persia dan  Samudera  Indonesia  saja, tetapi   lebih-lebih   disebabkan   oleh   -   tidak   seperti jazirah-jazirah lain - gurun sahara yang tandus.  Dunia  tidak tertarik,  negara  yang  akan  bersahabatpun tidak merasa akan mendapat  keuntungan  dan  pihak  penjajah  juga  tidak  punya kepentingan.  Sebaliknya,  daerah  Yaman tanahnya subur, hujan turun secara teratur pada  setiap  musim.  Ia  menjadi  negeri peradaban   yang   kuat,  dengan  kota-kota  yang  makmur  dan tempat-tempat beribadat yang  kuat  sepanjang  masa.  Penduduk jazirah ini terdiri dari suku bangsa Himyar, suatu suku bangsa yang cerdas dan berpengetahuan luas. Air hujan yang  menyirami bumi ini mengalir habis menyusuri tanah terjal sampai ke laut. Mereka membuat Bendungan Ma'rib yang dapat menampung arus  air hujan sesuai dengan syarat-syarat peradaban yang berlaku.
 
Sebelum  di  bangunnya  bendungan  ini  , air hujan yang deras terjun dari pegunungan Yaman yang tinggi-tinggi itu,  menyusur turun  ke  lembah-lembah  yang  terletak di sebelah timur kota Ma'rib. Mula-mula  air  turun  melalui  celah-celah  dua  buah gunung yang terletak di kanan-kiri lembah ini, memisahkan satu sama lain seluas kira-kira 400 meter. Apabila sudah sampai  di Ma'rib air itu menyebar ke dalam lembah demikian rupa sehingga hilang terserap seperti  di  bendungan-bendungan  Hulu  Sungai Nil.  Berkat pengetahuan dan kecerdasan yang ada pada penduduk Yaman itu, mereka membangun sebuah bendungan, yaitu  Bendungan Ma'rib.  Bendungan  ini dibangun daripada batu di ujung lembah yang sempit,  lalu  dibuatnya  celah-celah  guna  memungkinkan adanya  distribusi  air ke tempat-tempat yang mereka kehendaki dan dengan demikian tanah mereka bertambah subur.
 
Peninggalan-peninggalan peradaban Himyar di Yaman yang  pernah diselidiki  -  dan  sampai  sekarang  penyelidikan  itu  masih diteruskan -menunjukkan, bahwa  peradaban  mereka  pada  suatu saat  memang  telah  mencapai tingkat yang tinggi sekali, juga sejarahpun  menunjukkan  bahwa  Yaman  pernah  pula  mengalami bencana.
 
Sungguhpun  begitu  peradaban  yang  dihasilkan dari kesuburan negerinya serta penduduknya yang menetap menimbulkan  gangguan juga dalam lingkungan jazirah itu. Raja-raja Yaman kadang dari keluarga Himyar yang sudah  turun-temurun,  kadang  juga  dari kalangan  rakyat Himyar sampai pada waktu Dhu Nuwas al-Himyari berkuasa. Dhu Nuwas sendiri condong sekali kepada  agama  Musa (Yudaisma),  dan tidak menyukai penyembahan berhala yang telah menimpa bangsanya.  Ia  belajar  agama  ini  dari  orang-orang Yahudi yang pindah dan menetap di Yaman. Dhu Nuwas inilah yang disebut-sebut oleh  ahli-ahli  sejarah,  yang  termasuk  dalam kisah   "orang-orang  yang  membuat  parit,"  dan  menyebabkan turunnya  ayat:  "Binasalah  orang-orang  yang  telah  membuat parit.  Api  yang  penuh  bahan  bakar. Ketika mereka duduk di tempat itu. Dan apa yang  dilakukan  orang-orang  beriman  itu mereka  menyaksikan.  Mereka  menyiksa  orang-orang  itu hanya karena  mereka  beriman  kepada  Allah  Yang  Maha  Mulia  dan Terpuji." (Qur'an 85:4-8)
 
Cerita  ini  ringkasnya  ialah bahwa ada seorang pengikut Nabi Isa yang saleh bernama  Phemion  telah  pindah  dari  Kerajaan Rumawi  ke Najran. Karena orang ini baik sekali, penduduk kota itu banyak yang mengikuti  jejaknya,  sehingga  jumlah  mereka makin  lama  makin  bertambah  juga. Setelah berita itu sampai kepada Dhu Nuwas, ia pergi ke  Najran  dan  dimintanya  kepada penduduk  supaya  mereka  masuk agama Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka  digalilah  sebuah  parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuhnya kemudian dengan pedang  atau  dibikin  cacat.  Menurut  beberapa  buku sejarah korban pembunuhan itu  mencapai  duapuluh  ribu  orang.  Salah seorang di antaranya dapat lolos dari maut dan dari tangan Dhu Nuwas,  ia  lari  ke  Rumawi  dan   meminta   bantuan   Kaisar Yustinianus  atas  perbuatan  Dhu Nuwas itu. Oleh karena letak Kerajaan Rumawi ini jauh dari Yaman, Kaisar itu menulis  surat kepada  Najasyi  (Negus) supaya mengadakan pembalasan terhadap raja Yaman. Pada waktu itu [abad ke-6] Abisinia yang  dipimpin oleh   Najasyi   sedang   berada  dalam  puncak  kemegahannya. Perdagangan yang luas melalui laut disertai oleh  armada  yang kuat2  dapat  menancapkan  pengaruhnya  sampai sejauh-jauhnya. Pada waktu itu ia menjadi sekutu  Imperium  Rumawi  Timur  dan yang  memegang  panji  Kristen  di Laut Merah, sedang Kerajaan Rumawi Timur sendiri menguasainya di bagian Laut Tengah.

Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia  mengirimkan bersama  orang  Yaman  itu  -  yang  membawa surat - sepasukan tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha  al-Asyram salah  seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas nama penguasa Abisinia. Ia  memerintah  Yaman  ini  sampai  ia dibunuh  oleh  Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya. Abraha inilah  yang  memimpin  pasukan  gajah,  dan  dia  yang kemudian  menyerbu  Mekah  guna  menghancurkan  Ka'bah  tetapi gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.
 
Anak-anak Abraha  kemudian  menguasai  Yaman  dengan  tindakan sewenang-wenang.  Melihat  bencana  yang  begitu  lama menimpa penduduk, Saif bin Dhi Yazan  pergi  hendak  menemui  Maharaja Rumawi.  Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman.  Tetapi  karena adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi  permintaan  Saif  bin Dhi  Yazan  itu.  Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan pergi  menemui  Nu'man  bin'l-Mundhir  selaku  Gubernur   yang diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3
 
Nu'man  dan  Saif  bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan  Resepsi (Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti pada bagian tahta itu. Di tempat musim  dinginnya  bagian  ini dikelilingi  dengan  tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan  lampu-lampu  kendil terbuat  daripada  perak  dan  emas dan diisi penuh dengan air tawar. Di atas tahta itulah  terletak  mahkotanya  yang  besar berhiaskan  batu  delima, kristal dan mutiara bertali emas dan perak, tergantung dengan rantai dari  emas  pula.  Ia  sendiri memakai  pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat itu akan merasa terpesona  oleh  kemegahannya.  Demikian  juga halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.
 
Kisra   menanyakan   maksud   kedatangannya  itu  dan  Saifpun bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?),  salah seorang  keluarga  ningrat  Persia  yang paling berani. Persia telah  mendapat  kemenangan  dan  orang-orang  Abisinia  dapat diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.
 
Sejak  itulah  Yaman  berada  di  bawah  kekuasaan Persia, dan ketika Islam  lahir  seluruh  daerah  Arab  itu  berada  dalam naungan agama baru ini.
 
Akan  tetapi  orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu tidak langsung di bawah kekuasaan Raja  Persia.  Terutama  hal itu  terjadi  setelah  Syirawih  (Shiruya  Kavadh II) membunuh ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri  menduduki  takhta.  Ia membayangkan  -  dengan  pikirannya yang picik itu bahwa dunia dapat  dikendalikan  sekehendaknya   dan   bahwa   kerajaannya membantu  memenuhI  kehendaknya  yang sudah hanyut dalam hidup kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan  banyak  sekali  yang tidak  mendapat  perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya sendiri. Ia pergi memburu dalam  suatu  kemewahan  yang  belum pernah   terjadi  Ia  berangkat  diiringi  oleh  pemuda-pemuda ningrat berpakaian merah, kuning  dan  lembayung,  dikelilingi oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak yang  membawa  wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim semi  sekalipun  sebenarnya  dalam musim dingin yang berat, ia beserta  rombongannya  duduk  di  atas  permadani  yang  lebar dilukis  dengan  lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami bunga-bungaan   aneka   warna,   dan   dilatarbelakangi   oleh semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.
 
Tetapi sungguhpun Syirawih begitu jauh mengikuti kesenangannya,  kerajaan  Persia  tetap  dapat  mempertahankan kemegahannya,  dan  tetap  merupakan  lawan yang kuat terhadap kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen.  Sekalipun  dengan naik   tahtanya   Syirawih   ini   telah  mengurangi  kejayaan kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum  Muslimin memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.
 
Yaman  yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali dalam   sejarah   Semenanjung   Arab   dari   segi   pembagian penduduknya.  Disebutkan  bahwa  Bendungan  Ma'rib  yang  oleh suku-bangsa   Himyar   telah   dimanfaatkan  untuk  keuntungan negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar.  Disebabkan oleh  adanya  pertentangan  yang  terus-menerus  itu, lalailah mereka  yang  harus  selalu   mengawasi   dan   memeliharanya. Bendungan  itu  lapuk  dan  tidak  tahan  lagi menahan banjir.
Dikatakan juga, bahwa setelah  Rumawi  melihat  Yaman  menjadi pusat  pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa perdagangannya  terancam  karena   pertentangan   itu,   iapun menyiapkan  armadanya  menyeberangi  Laut Merah - antara Mesir dengan  negeri-negeri  Timur  yang   jauh   -   guna   menarik perdagangan  yang  dibutuhkan  oleh negerinya. Dengan demikian tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.
 
Mengenai peristiwanya, ahli-ahli  sejarah  sependapat,  tetapi mengenai  sebab  terjadinya  peristiwa  itu  mereka  berlainan pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di Yaman  ke  Utara.  Semua  mereka sependapat tentang kepindahan ini,  sekalipun  sebagian  menghubungkannya   dengan   sepinya beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa melalui tempat  itu.  Yang  lain  menghubung-hubungkan  kepada rusaknya   bendungan   Ma'rib,   sehingga   banyak  di  antara kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun juga  kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan Yaman jadi  berhubungan  dengan  negeri-negeri  Arab  lainnya, suatu  hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.
 
Apabila sistem politik di Yaman sudah  menjadi  kacau  seperti yang  dapat  kita  saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang menimpa  negeri  itu  serta  dijadikannya  tempat  itu   medan pertarungan,  maka  struktur  politik serupa itu tidak dikenal pada beberapa  negeri  Semenanjung  Arab  lainnya  waktu  itu. Segala  macam  sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem politik  seperti  pengertian  kita   sekarang   atau   seperti pengertian  negara-negara  yang  sudah  maju pada masa itu, di daerah-daerah  seperti  Tihama,  Hijaz,  Najd  dan   sepanjang dataran  luas  yang  meliputi  negeri-negeri  Arab, pengertian demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa  itu  bahkan sampai  sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang   mereka   kenal   hanyalah   hidup   mengembara  selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti  keinginan
hatinya.   Mereka   tidak  mengenal  hidup  cara  lain  selain pengembaraan itu.
 
Seperti  juga  ditempat-tempat  lain,  disinipun  dasar  hidup pengembaraan  itu  ialah  kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan  atau tata-cara  seperti  yang  kita  kenal.  Mereka  hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga  dan  kebebasan  kabilah yang  penuh.  Sedang  orang  kota,  atas  nama tata-tertib mau mengalah  dan  membuang  sebagian  kemerdekaan  mereka   untuk kepentingan  masyarakat  dan  penguasa,  sebagai  imbalan atas ketenangan  dan  kemewahan  hidup   mereka.   Sedang   seorang pengembara  tidak  pedulikan  kemewahan,  tidak  betah  dengan ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun  - seperti  kekayaan  yang  menjadi  harapan  orang kota - selain kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup  dalam  persamaan yang    penuh    dengan    anggota-anggota   kabilahnya   atau kabilah-kabilah  lain  sesamanya.  Dasar  kehidupannya   ialah seperti  makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang  sudah ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.
 
Oleh  karena  itu,  kaum  pengembara  tidak  menyukai tindakan ketidak adilan  yang  ditimpakan  kepada  mereka.  Mereka  mau melawannya   mati-matian,   dan  kalau  tidak  dapat  melawan, ditinggalkannya  tempat  tinggal  mereka   itu,   dan   mereka mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus demikian.
 
Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling  mudah bagi  kabilah-kabilah  ini bila harus juga timbul perselisihan yang tidak mudah  diselesaikan  dengan  cara  yang  terhormat. Karena  bawaan  itu  juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri,  keberanian, suka   tolong-menolong,   melindungi   tetangga   serta  sikap memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan makin   kuat   apabila   semakin  dekat  ia  kepada  kehidupan pedalaman, dan akan makin  hilang  apabila  semakin  dekat  ia kepada kehidupan kota.
 
Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman  saja dari  antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu. Mereka lebih  suka  meninggalkan  tanah  air  daripada  tunduk kepada  perintah.  Baik  pribadi-pribadi  atau kabilah-kabilah tidak akan taat kepada  peraturan  apapun  yang  berlaku  atau kepada lembaga apapun yang berkuasa.
 
Sifat-sifat  pengembaraan  itu  cukup mempengaruhi daerah yang kecil-kecil yang tumbuh  di  sekitar  jaziarah  karena  adanya perdagangan  para  kafilah, seperti yang sudah kita terangkan. Daerah-daerah ini dipakai oleh para  pedagang  sebagai  tempat beristirahat  sesudah  perjalanan  yang  begitu meletihkan. Di situ mereka bertemu dengan tempat-tempat  pemujaan  sang  dewa guna  memperoleh  keselamatan  bagi  mereka  serta  menjauhkan marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan  mereka selamat sampai di tempat tujuan.
 
Kota-kota  seperti  Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung atau   gurun   pasir,   terpengaruh   juga   oleh  sifat-sifat pengembaraan  demikian  itu.  Dalam  susunan   kabilah   serta cabang-cabangnya,    perangai   hidup,   adat-istiadat   serta kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu  cara  hidup  yang menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman. Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut ini akan terlihat agak lebih terperinci.
 
Lingkungan  masyarakat  dalam  alam demikian ini serta keadaan moral, politik dan sosial  yang  ada  pada  mereka,  mempunyai pengaruh   yang   sama   terhadap  cara  beragamanya.  Melihat hubungannya dengan agama Kristen  Rumawi  dan  Majusi  Persia, adakah  Yaman  dapat  terpengaruh  oleh  kedua  agama  itu dan sekaligus mempengaruhi kedua agama tersebut  di  jazirah  Arab lainnya?  Ini juga yang terlintas dalam pikiran kita, terutama mengenai agama Kristen. Misi Kristen yang ada  pada  masa  itu sama  giatnya  seperti  yang  sekarang  dalam mempropagandakan agama. Pengaruh pengertian agama dalam jiwa serta  cara  hidup kaum  pengembara tidak sama dengan orang kota. Dalam kehidupan kaum pengembara manusia berhubungan dengan alam, ia  merasakan adanya  wujud  yang  tak  terbatas  dalam segala bentuknya. Ia merasa perlu mengatur suatu cara hidup antara  dirinya  dengan alam  dengan  ketak-terbatasannya  itu. Sedang bagi orang kota ketak-terbatasan  itu   sudah   tertutup   oleh   kesibukannya hari-hari,   oleh   adanya  perlindungan  masyarakat  terhadap dirinya  sebagai  imbalan  atas  kebebasannya  yang  diberikan sebagian  kepada  masyarakat, serta kesediaannya tunduk kepada undang-undang  penguasa  supaya  memperoleh  jaminan  dan  hak perlindungan.   Hal  ini  menyebabkannya  tidak  merasa  perlu berhubungan dengan yang di luar penguasa itu, dengan  kekuatan alam  yang begitu dahsyat terhadap kehidupan manusia. Hubungan jiwa  dengan  unsur-unsur  alam  yang   di   sekitarnya   jadi berkurang.
 
Dalam  keadaan serupa ini, apakah yang telah diperoleh Kristen dengan kegiatannya yang begitu besar sejak abad-abad permulaan dalam  menyebarkan  ajaran  agamanya  itu?  Barangkali soalnya hanya akan sampai di  situ  saja  kalau  tidak  karena  adanya soal-soal   lain  yang  menyebabkan  negeri-negeri  Arab  itu, termasuk  Yaman,   tetap   bertahan   pada   paganisma   agama nenek-moyangnya,  dan  hanya  beberapa  kabilah  saja yang mau menerima agama Kristen.
 
Manifestasi peradaban dunia yang paling jelas pada masa itu  - seperti  yang  sudah  kita saksikan - berpusat di sekitar Laut Tengah  dan  Laut  Merah.  Agama-agama  Kristen   dan   Yahudi bertetangga  begitu  dekat  sekitar tempat itu. Kalau keduanya tidak  memperlihatkan  permusuhan  yang  berarti,  juga  tidak memperlihatkan  persahabatan  yang  berarti  pula. Orang-orang Yahudi masa itu dan sampai sekarang juga masih menyebut-nyebut adanya  pembangkangan  dan  perlawanan  Nabi  Isa kepada agama mereka. Dengan diam-diam mereka bekerja  mau  membendung  arus agama  Kristen  yang telah mengusir mereka dari Palestina, dan yang masih  berlindung  dibawah  panji  Imperium  Rumawi  yang membentang luas itu.

Orang-orang   Yahudi  di  negeri-negeri  Arab  merupakan  kaum imigran yang besar, kebanyakan mereka  tinggal  di  Yaman  dan Yathrib.  Di  samping  itu  kemudian  agama Majusi (Mazdaisma) Persia tegak menghadapi arus  kekuatan  Kristen  supaya  tidak sampai  menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan moril demikian itu didukung oleh  keadaan  paganisma  di  mana saja  ia  berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang di tangannya, ialah sesudah pindahnya  pusat  peradaban  dunia itu ke Bizantium.
 
Gejala-gejala  kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan  pertentangan  dan peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya martabat iman yang tinggi ke dalam kancah  perdebatan  tentang bentuk  dan  ucapan,  tentang  sampai di mana kesucian Mariam: adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau  anak yang  lebih  utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa  akibat  hancurnya apa yang sudah biasa berlaku.
 
Ini  tentu  disebabkan  oleh karena isi dibuang dan kulit yang diambil, dan terus menimbun kulit itu  di  atas  isi  sehingga akhirnya  mustahil  sekali  orang  akan dapat melihat isi atau akan menembusi timbunan kulit itu.
 
Apa yang telah menjadi pokok  perdebatan  kaum  Nasrani  Syam, lain  lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun,  melihat  hubungannya dengan  orang-orang  Nasrani,  tidak  akan berusaha mengurangi atau menenteramkan perdebatan semacam  itu.  Oleh  karena  itu sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum Nasrani Syam dan Yaman  dalam  perjalanan  mereka  pada  musim dingin  atau  musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu di  antara  golongan-golongan  itu.  Mereka  sudah puas dengan kehidupan agama berhala yang  ada  pada  mereka  sejak  mereka dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.
 
Oleh  karena  itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian  inipun  sampai kepada  tetangga-tetangga  mereka  yang  beragama  Kristen  di Najran  dan  agama  Yahudi  di  Yathrib,  yang  pada   mulanya memberikan   kelonggaran   kepada   mereka,   kemudian   turut menerimanya. Hubungan  mereka  dengan  orang-orang  Arab  yang menyembah  berhala  untuk  mendekatkan  diri  kepada Tuhan itu baik-baik saja. Yang menyebabkan orang-orang  Arab  itu  tetap  bertahan  pada paganismanya  bukan  saja  karena  ada  pertentangan di antara golongan-golongan Kristen.  Kepercayaan  paganisma  itu  masih tetap  hidup  di  kalangan  bangsa-bangsa  yang sudah menerima ajaran  Kristen.  Paganisma  Mesir  dan  Yunani  masih   tetap berpengaruh  ditengah-tengah  pelbagai  mazhab  yang  beraneka macam dan di  antara  pelbagai  sekta-sekta  Kristen  sendiri. Aliran   Alexandria   dan   filsafat  Alexandria  masih  tetap berpengaruh,  meskipun  sudah  banyak  berkurang  dibandingkan dengan   masa  Ptolemies  dan  masa  permulaan  agama  Masehi. Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap  merasuk  ke  dalam  hati mereka.   Logikanya   yang  tampak  cemerlang  sekalipun  pada dasarnya  masih  bersifat  sofistik  -  dapat   juga   menarik kepercayaan   paganisma   yang   polytheistik,   yang   dengan kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.
 
Saya kira inilah yang lebih  kuat  mengikat  jiwa  yang  masih lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita sekarang ini. Jiwa  yang  lemah  itu  tidak  sanggup  mencapai tingkat  yang  lebih  tinggi,  jiwa yang akan menghubungkannya pada semesta alam sehingga ia dapat memahami  adanya  kesatuan yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari semua yang ada dalam wujud ini,  menjelma  dalam  Wujud  Tuhan Yang  Maha  Esa.  Kepercayaan  demikian  itu hanya sampai pada suatu manifestasi alam saja  seperti matahari, bulan atau  api misalnya.  Lalu  tak  berdaya  lagi mencapai segala yang lebih tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam kesatuannya itu.
 
Bagi  jiwa  yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia akan membawa gambaran yang  masih  kabur  dan  rendah  tentang pengertian  wujud  dan  kesatuannya.  Dalam hubungannya dengan berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus, yang  sampai  sekarang  masih  dapat  kita saksikan di seluruh dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya  modern  dalam ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus  di  Roma, mereka  melihat  kaki  patung  Santa  Petrus yang didirikan di tempat  itu   sudah   bergurat-gurat   karena   diciumi   oleh penganut-penganutnya,  sehingga  setiap  waktu terpaksa gereja memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.
 
Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat petunjuk  Tuhan  kepada  iman  yang  sebenarnya Mereka melihat pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang  menjadi  tetangga mereka  serta  cara-cara  hidup  paganisma yang masih ada pada mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang  masih  menyembah berhala  itu  sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa kita tak akan memaafkan mereka.  Situasi  demikian  ini  sudah begitu  berakar  di  seluruh  dunia, tak putus-putusnya sampai saat ini, dan saya kira memang  tidak  akan  pernah  berakhir. Kaum  Muslimin  dewasa  inipun  membiarkan paganisma itu dalam agama mereka, agama yang datang  hendak  menghapus  paganisma, yang  datang  hendak  menghilangkan  segala penyembahan kepada siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.
 
Cara-cara penyembahan  berhala  orang-orang  Arab  dahulu  itu banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui  seluk-beluknya. Nabi  sendiri  telah  menghancurkan  berhala-berhala  itu  dan menganjurkan  para  sahabat  menghancurkannya  di  mana   saja adanya.  Kaum  Muslimin  sudah  tidak  lagi bicara tentang itu sesudah semua  yang  berhubungan  dengan  pengaruh  itu  dalam sejarah  dan  lektur  dihilangkan.  Tetapi apa yang disebutkan dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam  abad kedua  Hijrah  - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam  paganisma  dalam bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.
 
Di    samping    itu    menunjukkan   pula   bahwa   kekudusan berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap  kabilah atau  suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan. Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda  pula antara  sebutan  shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub. Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu, Wathan  demikian  juga  dibuat dari batu, sedang nushub adalah batu karang tanpa  suatu  bentuk  tertentu.  Beberapa  kabilah melakukan    cara-cara   ibadahnya   sendiri-sendiri.   Mereka beranggapan batu  karang  itu  berasal  dari  langit  meskipun agaknya  itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal  dari Yaman.  Hal  ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka tidak dikenal di Hijaz, Najd atau  di  Kinda.  Sayang  sekali, buku-buku   tentang   berhala   ini  tidak  melukiskan  secara terperinci bentuk-bentuk berhala itu,  kecuali  tentang  Hubal yang  dibuat  dari  batu  akik dalam bentuk manusia, dan bahwa lengannya pernah rusak dan oleh  orang-orang  Quraisy  diganti dengan  lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.
 
Tidak   cukup  dengan  berhala-berhala  besar  itu  saja  buat orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang  dan  memberikan kurban-kurban,  tetapi  kebanyakan  mereka  itu mempunyai pula patung-patung dan berhala-berhala dalam  rumah  masing-masing.
Mereka  mengelilingi  patungnya  itu  ketika  akan keluar atau sesudah kembali pulang, dan dibawanya  pula  dalam  perjalanan bila  patung  itu  mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu, baik yang ada dalam  Ka'bah  atau  yang  ada  disekelilingnya, begitu  juga  yang  ada  di  semua  penjuru  negeri  Arab atau kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara  penganutnya dengan  dewa  besar.  Mereka beranggapan penyembahannya kepada dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada  Tuhan  dan  menyembah kepada  Tuhan  sudah  mereka  lupakan  karena  telah menyembah berhala-berhala itu.
 
Meskipun Yaman  mempunyai  peradaban  yang  paling  tinggi  di antara  seluruh  jazirah  Arab, yang disebabkan oleh kesuburan negerinya serta pengaturan pengairannya yang  baik,  namun  ia tidak   menjadi  pusat  perhatian  negeri-negeri  sahara  yang terbentang  luas  itu,  juga  tidak  menjadi  pusat  keagamaan mereka.  Tetapi  yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang  berkunjung  dan  ke tempat  itu  pula  orang  melepaskan pandang. Bulan-bulan suci sangat dipelihara melebihi tempat lain.
 
Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan  jazirah  Arab yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah. Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran Nabi   Muhammad,   dan  dengan  demikian  ia  menjadi  sasaran pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah  tetap  disucikan  dan suku  Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar  sejak berabad-abad lamanya.
 
Catatan kaki:
 
 1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.
   
 2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.   Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh   penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga   dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de   Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn  Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan   Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela   agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah  sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini   banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat   kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan   kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar   dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan: "Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu   sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan   berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan   Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
   
 3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda  tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.   Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab   Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus   berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang   sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.   Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali   menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi  di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya   dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang   Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.   Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan  merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ   berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar   Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang   pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia   merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah   memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang   beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan   berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang   mengusir mereka.